MANQUUL

MANQUUL

I. TA’RIF MANQUUL
Kata manquul (منقول) berasal dari bahasa Arab dalam bentuk “maf’uul bih” (atas “wazan” فَعَلَ-يَفْعُلُ) yang artinya; Sesuatu yang dipindahkan. Adapun kata asalnya (dalam bentuk “fi’il madhi”) adalah; “naqola” (نقل) yang artinya; Dia telah memindahkan.

Sedangkan menurut arti “ishthilah” (terminology keilmuan), manquul adalah; system pemindahan ilmu dari guru ke murid, maka yang dikatakan ilmu yang manquul adalah ilmu yang dipindahkan / transfer dari guru kepada murid.
Dengan kata lain manquul artinya adalah; berguru, yaitu terjadinya pemindahan ilmu dari guru kepada murid.

II. PERANAN MANQUUL DALAM KEILMUAN
Manquul menjadi tradisi keilmuan Islam yang terbukti sangat penting dalam hal penjagaan kemurnian agama Islam. Orang yang pertama-kali memperkenalkan sistem manquul dalam keilmuan Islam adalah Rasulullahi Saw sendiri, dengan sabdanya;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.
Dari Ibnu Abbas dia berkata, Rasulullah Saw bersabda : Kamu sekalian mendengarkan, dan didengarkan dari kamu sekalian, dan didengar dari orang yang mendengarkan dari kamu sekalian”. HR. Abu Dawud : 3661 Shohih

Selanjutnya penyampaian ilmu dengan system manquul ini menjadi tradisi Salafus Shalih (para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin) sebagaimana yang dapat kita jumpai penjelasan dari pengantar al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh “Khadim al-Haramian” kerajaan Saudi Arabia, dlm penjelasan mengenai sumber pertama dari penafsiran al-Quran pada periode Mutaqaddimin (golongan awal) adalah;

{Perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah Saw terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat al-Qur’an, tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini disebut “Tafsif Manquul”.} Lihat; Muaqaddimah, Al-Qur’an al-Karim Wa Tarjumatu Ma’anihi Ila al-lughati al-Indonesiyah : 26.

III. PERANAN SANAD DI DALAM SISTEM MANQUUL

Dalam ilmu Hadits, yang dikatakan “manquul” Hadits, berarti belajar Hadits dari guru yang mempunyai isnad (sandaran guru) yang sambung-bersambung hingga Rasulullah Saw. Isnad atau juga dikenal dengan istilah “sanad” memainkan peranan yang sangat penting dalam system manquul, kerana melaluinya maka Hadits-hadits Nabi Saw. dapat dijaga dari pemalsuan atau pendustaan, penambahan ataupun pengurangan, sebab pada pertengahan kurun kedua, yaitu setelah memasuki zaman fitnah, marak kejahatan pemalsuan Hadits-hadits Nabi Saw;

Kejahatan ini terjadi disebabkan setiap golongan berusaha mempertahankan golongan mereka. Melihat fenomena yang menghawatirkan ini, para ulama Hadits mengadakan kajian sanad, Ibn Sirin berkata;

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا : سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.
Tidaklah mereka (para sahabat) bertanya tentang sanad, namun ketika telah terjadi fitnah (peperangan sesama umat Islam), mereka berkata : sebutkan kepada kami rijal (sanad) kamu, jika dilihat rijalnya dari golongan ahli Sunnah, maka diambil hadits mereka, jika dilihat rijal mereka dari golongan ahli bid’ah, maka tidak diambil hadits mereka. Muslim Al-Muqaddimah : 1/11.

Saking pentingnya sanad sehingga salah satu ahli Hadits yakni Abdullah bin Mubarak menyatakan;

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.
Isnad itu adalah bagian dari agama, kalaulah tanpa isnad, pastilah setiap orang berkata mengikut kehendaknya. Muslim Al-Muqaddimah : 1/12.

Sufyan bin Uyainah berkata;
حَدَّثَ الزُّهْرِيُّ يَوْمًا بِحَدِيثٍ، فَقُلْتُ : هَاتِهِ بِلاَ إِسْنَادٍ، فَقَالَ الزُّهْرِيُّ : أتَرْقَى السَطْحَ بِلاَ سُلَّمٍ ؟
Suatu hari al-Zuhri menyampaikan hadith, maka aku berkata : Sampaikanlah (manquulkan lah) Hadits itu tanpa (menyebut) Isnadnya. Jawab Zuhri : Apakah kamu bisa menaiki bumbung tanpa menggunakan tangga.? Muslim Al-Muqaddimah : 1/12.

Para ulama mengkaji setiap Hadits yang sampai kepada mereka melalui sanad. Setiap Hadits diteliti oleh para ulama, yang dengannya dapat dikenal pasti adakah Hadits itu shahih atau dhaif, bahkan maudhu’ (palsu) atau tidak ada asal baginya (لا أصل له). Para ulama yang mendengar Hadits akan merujuk kepada sanad Hadits tersebut.

IV. 8 SISTEM MANQUUL YANG DIKENAL DALAM ILMU HADITS

Di dalam kajian Ilmu Hadits ada 8 cara manquul yang diakui oleh para ulama, yaitu; As-Sama’, al-Qiraah ala as-Syaikh, al-Ijazah, al-Muanawwalah, al-Mukatabah, al-I’lam, al-Washiyyah dan yang terakhir adalah al-Wijadah, adapun penjelasan ringkasnya sebagai berikut:

1. As-sama’ Min lafzh as-Syaikh (السمع من لفط الشيخ)
Penerimaan Hadits atau ilmu dengan cara mendengar langsung dari guru yang mendiktekan dari hafalannya atau catatannya, cara seperti ini oleh mayoritas ulama’ dinilai sebagai cara yang paling tinggi kualitasnya.

2. Al-Qira’ah ala as-Syaikh (القراءة على الشيخ)
Adalah murid atau temannya (sesama murid) membacakan Hadits atau ilmu yang akan dipelajari di hadapan guru yang menyimak melalui hafalan atau catatannya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh imam as-Syafii ketika manquul Kitab Muwattha’ kepada imam Malik, atau imam an-Nasa’i ketika manquul dari guru yang membenci beliau, yaitu Harits bin Miskin.
Catatan : Al-Qiraah ini juga disebut dengan istilah al-ardh (العرض).

3. Al-ijazah (الإجازة)
Guru memberikan izin kepada seseorang (murid) untuk meriwayatkan (menyampaikan) ilmu yang ada pada guru, dengan berkata; Anda saya beri ijazah (kewenangan) untuk meriwayatkan Hadits shahih al-Bukhari.

4. Al-munawalah (المناولة)
Cara munawalah adalah guru memberi kitab Hadits kepada muridnya, atau si guru menyuruh murid agar menyalin kitab darinya, ada dua jenis munawalah, yaitu;
1. Al-Munawalah al-maqrunah bil ijazah, yaitu; Munawalah disertai dengan ijazah, cara seperti ini sama dengan cara ijazah.
2. Al-munawalah al-maqrunah al-Mujarradah, yaitu; Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah contohnya seorang guru berkata kepada muridnya; Ini Hadits yang telah saya dengar, sang guru tidak menyatakan pernyataan agar murid meriwayatkan Hadits tersebut.
Catatan; Yang dianggap sah dalam penyampaian Hadits adalah munawalah disertai ijazah.

5. Al-mukatabah; (المكاتبة)
Guru menulis Hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang (murid) tertentu, yang saat penulisan tersebut bisa jadi ada di hadapan guru atau di tempat lain. Kalimat yang digunakan antara lain adalah;

6. Al-I’lam (الإعلام)
Guru memberi tahu kepada murid akan adanya Hadits yang pernah diterimanya dari gurunya, tanpa disertakan penjelasan secara detailnya.

7. Al-Wasiyyah (الوصيىة)
Guru mewasiatkan kitab Hadits kepada salah satu muridnya dengan tanpa pernah membacakannya secara langsung kepada murid.

8. Al-Wijadah (الوجادة)
Seseorang yang membaca kitab atau tulisannya orang lain dengan tanpa as-sama’ ataupun ijazah. Kalimat yang digunakan antara lain adalah;
Cara wijadah seperti ini oleh para ulama’ dianggap paling rendah kualitasnya bahkan seorang ahli Hadits yang bernama Ahmad Muhammad Syakir tidak membolehkan periwayatan dengan cara al-wijadah ini, menurutnya bila cara ini dibiarkan terus maka akan terjadi pemindahan riwayat (ilmu) secara dusta.

Rujukan; Ahmad Muhammad Syakir Al-Bais al-Hasisi Ikhtishar Ulumul Hadits : 141-142.

Tinggalkan komentar