Istimewanya manhaj talaqqi Ahlus Sunnah

🔥Istimewanya manhaj talaqqi Ahlus Sunnah…

✍Ahlus Sunnah memiliki manhaj talaqqi, yaitu manhaj dalam mengambil ilmu. Mereka hanya memilih guru yang lurus dan benar manhajnya.
Karena memilih guru adalah jalan utama meraih keselamatan.
Talaqqi adalah pengambilan ilmu dengan jalan yang benar, melalui metode yang benar dan dari sumber yang benar. Ahlus sunnah mewariskan manhaj talaqqi secara turun temurun. Tidak ada seorangpun ulama Ahlus Sunnah yang memahami Islam dengan cara autodidak, tanpa guru. Mereka pasti mendapatkannya dari guru-guru yang bersambung ilmu dan sanadnya.
Inilah diantara hal yang menjadikan istimewanya manhaj Ahlus sunnah.
Mereka jelas ilmunya, jelas pula masdar pengambilannya, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohihah.
Mereka mengambil pemahamannyapun hanya dari ulama yang adil dan tsiqqoh. Tidak sembarangan dan serampangan masdar mereka

Alloh juga telah memerintahkan kaum muslimin secara umum tentang hal itu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[Al-Hujurat : 6]

Dengan setiap kabar berita saja kita harus menyaringnya padahal belum tentu berhubungan dengan keselamatan dunia dan akherat kita, apalagi dalam hal ilmu yang jelas sekali menentukan keselamatan agama dan akherat kita.
Maka kehati-hatian harus lebih lagi.

Manhaj talaqi merupakan faktor utama yang menentukan kelurusan aqidah seseorang. Ketika manhaj talaqi yang dia tempuh lurus dan benar, maka aqidahnya pun ikut menjadi benar. Begitu juga sebaliknya ketika manhaj talaqi-nya menyimpang, maka aqidahnya pun akan ikut menyimpang pula. Oleh karena itu, agar tidak tergelincir dari ajaran yang benar, seorang Muslim mesti harus senantiasa memperhatikan kepada siapa dia berguru dan bagaimana cara memahami ajaran Islam dengan benar.

Mengetahui mashdar dan manhaj pengambilan akidah ahlusunnah wal jama’ah atau manhaj talaqqi merupakan hal yang sangat urgen. Kesalahan dalam hal ini akan melahirkan penyimpangan.

Ahlusunnah, mereka memiliki manhaj talaqqi yang jelas. Yang telah diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga tidak kita temukan adanya perbedaan akidah di antara mereka.

Munculnya kelompok kelompok sesat dalam tubuh umat islam tidak lain disebabkan karena kesalahan dalam pengambilan sumber. Baik memang sumbernya yang salah, atau sumbernya benar namun cara pengambilannya yang salah.

Rasululluh صلى الله عليه وسلم juga mengingatkan kita akan munculnya para dai penyeru kedalam jahannam. Sebagaimana dalam hadist Hudzaidah, beliau bertanya kepada Rasululloh tentang fitnah-fitnah yang akan datang:
فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا .
Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi ?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka”
Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita”

Aku bertanya : “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini”
Beliau menjawab : “Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”
Aku bertanya : “Bagaimana jika tidak ada imam dan jama’ah kaum muslimin?”
Beliau menjawab :”Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu”
(HR Bukhari 6/615-616, Muslim 12/235-236)

Dengan hadits ini, menjadikan kita harus ekstra hati-hati dalam mengambil ilmu.
Karena ulama penyesat ummat ini justru berasal dari kaum muslimin sendiri.

Pengetahuan tentang Manhaj talaqqi merupakan salah satu dari kewajiban utama, dan merupakan masalah penting yang harus dipahami terlebih dahulu dari selainnya bagi setiap muslim.
Diantara pokok ‘Aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah lurusnya manhaj talaqqi yaitu ittiba’ kepada apa yang datang dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya yang shahih baik secara zhahir maupun bathin, serta berserah diri kepada ajaran Nabi.
Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka piluhan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhla dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzaab : 36)

📌Imam Muhammad bin Sirin رحمه الله , salah seorang imamnya tabi’in memberikan nasehat:
إن السند من الدين.
فانظروا ممن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya sanad (periwayatan hadits) ini adalah bagian dari agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: ‘Sebutkan kepada kami sanad kalian’, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.”
(Atsar ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Dari perkataan ini, Ibnu Sirin menyuruh kita untuk memperhatikan dari mana kita mengambil ILMU AGAMA kita. Maksudnya, jangan sembarangan mengambil ilmu dari sembarang orang. Meskipun orang ini bagus penyampaiannya, kemudian menarik tutur katanya, namun jika aqidahnya rusak, suka menukil dari hadits-hadits dhoif tanpa menjelaskannya, maka kita perlu waspada jika kita mengambil ilmu darinya, Bisa-bisa kita akan mendapat ilmu yang salah dan malah menjerumuskan kita.
Wallaahu a’lam

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

✏📚✒.🌾.. ✨

​MENINGKATKAN KE-‘ILMIYYAH-AN DENGAN MENINGGIKAN RUJUKAN

​MENINGKATKAN KE-‘ILMIYYAH-AN DENGAN MENINGGIKAN RUJUKAN
[1]- Syaikh Bakr Abu Zaid -rahimahullaah- berkata:
“Allah -Ta’aalaa- berfirman menuntut kaum musyrikin untuk mengokohkan dakwaan/klaim mereka:
…قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“…Katalanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.” (QS. Al-Baqarah: 111)
Dan Allah berfirman:
 …نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“…Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Al-An’aam: 143)

 

Dan juga firman-Nya:
…ائْتُوْنِيْ بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَٰذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“…Bawalah kepadaku kitab yang sebelum (Al-Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Ahqaaf: 4)
Maka ayat-ayat ini -dan yang semisalnya-: merupakan asas (landasan) dalam “Ushuul” (pondasi) untuk menyandarkan perkataan dan dakwaan (kepada sumbernya) dan tuntutan untuk mendatangkan sanad (sandaran dari perkataan) yang ditetapkan (oleh pembawa/penukil perkataan).”
[“At-Ta’shiil Li Ushuulit Takhriij Wa Qawaa’idil Jarh Wat Ta’diil” (hlm. 44)]
[2]- Pentahqiq Kitab “An-Nukat ‘Alaa Ibnish Shalaah” berkata:
“Dan yang haq (benar) adalah: bahwa Manhaj (jalan) ini; yaitu Manhaj:
(1)- menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya,
(2)- dan (menyandarkan) nukilan (hadits maupun lainnya) kepada sumber-sumbernya -terutama sumber-sumber aslinya (yang biasanya bersanad)-,
(3)- serta lebih mendahulukan perkataan (ulama yang) ahli dalam spesialisasinya dibandingkan yang lainnya;
ini adalah Manhaj para ulama Islam dan para ustadz dunia…khususnya Ahli Hadits.”
[Muqaddimah Tahqiiq “An-Nukat ‘Alaa Ibnish Shalaah” (I/171)]

​✅📝 ULAMA SALAF SAJA MENCATAT ILMU.. MENGAPA KITA TIDAK?

​✅📝 ULAMA SALAF SAJA MENCATAT ILMU.. MENGAPA KITA TIDAK?
☑️ Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata,
مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مِنِّي، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَكْتُبُ
🔸 “Tidak ada seorang pun dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang paling banyak (meriwayatkan) hadits dari beliau (shallallahu ‘alaihi wa Sallam) selain aku, kecuali dari Abdullah bin Amr, karena ia dahulu menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Al-Bukhari no.113)
☑️ Asy-Sya’bi rahimahullah berkata,
إذا سمعت شيئا فاكتبه ولو في الحائط
“Apabila engkau mendengar sesuatu (dari ilmu) maka tulislah walaupun di atas tembok.” (HR. Abu Khaitsamah dalam Al-Ilmu no.146)
☑️ Ma’mar bin Rasyid rahimahullah berkata,
“Aku menceritakan kepada Yahya bin Abi Katsir beberapa hadits. Maka ia berkata kepadaku, ‘tuliskanlah untukku hadits ini dan hadits ini’
Aku menjawab, “Sesungguhnya kami tidak menyukai menulis ilmu.’
Ia berkata, “Tulislah, karena sesungguhnya engkau jika tidak menulisnya maka sungguh engkau telah menyia-nyiakan (hadits tersebut).”
☑️ Abu Shalih Al-Farra’ rahimahullah berkata,
“Aku bertanya kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang menulis ilmu. Maka beliau menjawab, “Seandainya bukan karena kitab (buku catatan ilmu,pen) niscaya kami tidak hafal.” (As-Siyar 8/409)
✅ Keadaan mereka yang memiliki hafalan yang kuat dan kecerdesan saja sangat bersemangat mencatat ilmu dan menasehatkan kepada para muridnya untuk mencatat. Lalu bagaimana dengan kita??

🌍 Referensi: An-Nubadz fi Adabi Thalabil ilmi  (hal.138)

📝 Dikumpulkan oleh Tim Warisan Salaf

〰〰➰〰〰
•═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•

📮CHANNEL MULIA DENGAN SUNNAH 

di Telegram :  https://goo.gl/X2h0P7

🔄 Risalah Sunnah : https://goo.gl/elalbc

🌍 Website : http://www.AsySyamil.com

💠️ FB : https://goo.gl/tJdKZY

📱 WA : 081381173870 Admin

Siapa yang memisahi dalil maka ia tersesat dari lurusnya jalan

⭕️فائدة {مَنْ فَارَقَ الدَّلِيلَ ضَلَّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ}⭕️

🚩قَالَ الإِمَامُ ابْنُ القَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ:

Imam Ibn Qoyim rohimahulloh mengatakan :

Dan barang siapa yang menyampaikan ilmu padamu pada selain “mengabarkan padaku” (أخبرنا) dan “menceritakan padaku” (حدثنا) maka sungguh ia telah menyampaikan kerancuan, adakalanya atas khayalan sufi, qiyasnya filsafat, atau pendapat pribadi. Maka tidaklah ada setelah Al-Quran, “mengabarkan padaku” (أخبرنا) dan “menceritakan padaku” (حدثنا) kecuali syubhatnya orang-orang yg berbicara, pendapat-pendapat orang yang merubah-rubah ‘pengertian ayat,hadits,atau hukum’, khayalan-khayalan orang-orang shufi, dan qiyasnya filsuf-filsuf, dan barang siapa yang memisahi pada dalil maka ia sesat dari lurusnya jalan. Dan tidak ada dalil menuju kepada Alloh dan surga selain Al-quran dan As-sunnah, dan setiap jalan yang dalil Quran dan Sunnah tidak menyertainya maka itu termasuk jalannya (menuju) neraka jahim dan syaithan yang dirajam.

«وَمَنْ أَحَالَكَ عَلَى غَيْرِ «أَخْبَرَنَا» وَ«حَدَّثَنا» فَقَدْ أَحَالَكَ: إِمَّا عَلَى خَيَالٍ صُوفِيٍّ أَوْ قِيَاسٍ فَلْسَفِيٍّ، أَوْ رَأْيٍ نَفْسِيٍّ، فَلَيْسَ بَعْدَ القُرْآنِ وَ«أَخْبَرَنَا» وَ«حَدَّثَنَا» إِلاَّ شُبُهَاتُ المُتَكَلِّمِينَ، وَآرَاءُ المُنْحَرِفِينَ وَخَيَالاَتُ المُتَصَوِّفِينَ وَقِيَاسُ المُتَفَلْسِفِينَ، وَمَنْ فَارَقَ الدَّلِيلَ ضَلَََّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَلاَ دَلِيلَ إِلَى اللهِ وَالجَنَّةِ سِوَى الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَكُلُّ طَرِيقٍ لَمْ يَصْحَبْهَا دَلِيلُ القُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، فَهِيَ مِنْ طُرُقِ الجَحِيمِ وَالشَّيْطَانِ ِالرَّجِيمِ».

📚 [«مدارج السّالكين» (٤٦٨/٢)].

✍ قنـاة الدِّيـنُ النَّصـيحَة من هنـ⇙ـا

______________

goo.gl/rbKcN

______________

@din_nasiha

Keutamaan Menyebarkan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم 
🔹 *فضل نشر العلم*

🔹 *KEUTAMAAN MENYEBARKAN ILMU*
🔹 قال ابن المبارك رحمه الله-:

✏Imam Ibnul Mubarak rahimahullah (wafat th. 181 H)
لاَ أَعْلَمُ بَعْدَ النُّبُوَّةِ أَفْضَلَ مِنْ بَثِّ العِلْمِ   السير (387/8)
“Aku tidak mengetahui setelah Kenabian suatu derajat yg lebih afdhal dari menyebarkan ilmu.” (Siyar A’lam an-Nubalaa 8/387)
🔹 قال الإمام ابن القيم -رحمه الله-:

✏Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 756 H) berkata:

 ((الْجُودُ بِالْعِلْمِ وَبَذْلِهِ. وَهُوَ مِنْ أَعْلَى مَرَاتِبِ الْجُودِ. وَالْجُودُ بِهِ أَفْضَلُ مِنَ الْجُودِ بِالْمَالِ. لِأَنَّ الْعِلْمَ أَشْرَفُ مِنَ الْمَالِ ))

   مدارج السالكين (٢79/٢).
“Membagi-bagikan ilmu dan mencurahkannya adalah kedermawanan yg paling tinggi. Derma2an dg ilmu lebih afdhal dr dermawan dengah harta. Karena ilmu lebih berharga daripada harta.” (Madaarijus Salikin (2/279))
🔹 قال ابن الجوزي -رحمه الله-:

✏Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (wafat th. 597 H) berkata:

(( من أحب الا يَنْقَطِع عمله بعد مَوته فلينشر الْعلم )). التذكرة (٥٥).
“Barang siapa yg suka amalannya tidak terputus setelah kematiannya, maka hendaknya dia menyebarkan ilmu.” (at-Tadzkirah fil Wa’dh hal 55)
🔹 قال العلامة عبد الرحمن بن حسن آل الشيخ – رحمه الله-:

✏Berkata al-Allamah Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (wafat th. 1285 H) rahimahullah
 (( اجتهد في نشر التوحيد بأدلته للخاصة والعامة فإن أكثر الناس قد رغبوا عن هذا العلم )) (المطلب الحميد (٢٧٣))
“Bersungguh-sungguhlah dalam menyebarkan tauhid disertai dengan dalil-dalilnya kepada orang-orang tertentu dan umum, karena kebanyakan manusia kurang senang terhadap ilmu ini.” 
🔹 قال الإمام ابن باز -رحمه الله-:

✏Syaihk Bin Baz rahimahullah (wafat th. 1420 H) berkata:
))يجب أن تحرص على نشر العلم بكل نشاط وقوة وألا يكون أهل الباطل أنشط في باطلهم وأن تحرص على نفع المسلمين في دينهم ودنياهم (( 

مجموع فتاوى (٦٧/٦)
“Engkau wajib menyebarkan ilmu dengan penuh semangat dan dengan segala kekuatan. Jangan sampai tokoh-tokoh kesesatan lebih semangat dalam kebathilan mereka. Dan hendaknya engkau bersemangat dalam memberikan manfaat bagi kaum muslimin dalam urusan agama maupun dunia mereka.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 6/67)
 🔹قال الإمام الأوزاعي رحمه الله 

✏Imam Al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) berkata:
 ( إذا جهر أهل البدع ببدعهم ، وكثرت دعوتهم ودُعاتهم إليها ، فنشر العلم حياة ، والبلاغ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم رحمة يُعتَصمُ بها على كلّ مِصِرِّ ملحد)  

(كتاب البدع – لإبن وضّاح 524)
“Apabila ahli bid’ah telah terang-terang dengan bid’ah mereka. Dakwah dan para dai mereka yang mengajak kepada bid’ah semakin banyak, maka menyebarkan ilmu adalah kehidupan, dan menyampaikan apa yang datang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah rahmat yang menjaga dari setiap orang yang ngeyel dan menyimpang.” (Kitabul Bida’ oleh Ibnul Wadhdhoh hal. 524)
🔹ﻗَـﺎﻝَ ﺍلشيخ ﺑﻦُ ﺑـﺎﺯٍ – ﺭَﺣِﻤﻪُ ﺍﻟﻠﻪ –  :

✏Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: 
ﻭﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻔﺎﺋﺪﺓ ﺃﻥ ﻳﺒﻠﻐﻬﺎ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﺗﺒﻠﻎ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﺎ ﺳﻤﻌﺖ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ  ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﺑﻠﻐﻮﺍ ﻋﻨﻲ ﻭﻟﻮ ﺁﻳﺔ ‏» ، ﻭﻛﺎﻥ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺧﻄﺐ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻝ : ‏« ﻟﻴﺒﻠﻎ ﺍﻟﺸﺎﻫﺪ ﺍﻟﻐﺎﺋﺐ ﻓﺮﺏ ﻣﺒﻠﻎ ﺃﻭﻋﻰ ﻣﻦ ﺳﺎﻣﻊ 

ﻓﻲ ﻣﺠﻤﻮﻉ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ ‏( ٤ / ٥٤ ‏) ‏   .
“Dan yang disyariatkan bagi setiap muslim, apabila ia mendengar suatu faedah agar dia menyampaikannya kepada selainnya demikian juga seorang muslimah menyampaikan apa ia yg dia dengar berupa ilmu kepada yang lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : 

‘Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.’

Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila berkhutbah diahadapan manusia, beliau berkata: ‘Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yg tidak hadir. Dan kadang orang yg disampaikan lebih paham dari orang yg mendengar (secara langsung).’ 

(Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 4/54)
  🔹ﻗَـﺎﻝَ ﺍلشيخ ﺑﻦُ ﺑـﺎﺯٍ – ﺭَﺣِﻤﻪُ ﺍﻟﻠﻪ –  :

✏Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: 
 ( ومعلوم أن من نشر قولا يضر الناس يكون عليه مثل آثام من ضل به كما أن من نشر ما ينفع الناس يكون له مثل أجور من انتفع بذلك ) 

[ الفتاوى (230/6) ]
“Hal yg sudah dimaklumi, bahwa yang menyebarkan perkataan yang membahayakan manusia dia akan mendapatkan dosa semisal dosa-dosa orang yang tersesat dengan sebab perkataannya. Sebagaimana orang yang menyebarkan hal yang bermanfaat bagi manusia dia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengambil manfaat darinya.” (Majmu Fatawa Syaikh Bin Baz 6/230)
🔹قال الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله : 

✏Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin (wafat th. 1421 H)  rahimahullah
“ولقد أوصاني رجل من عامة الناس فقال لي : 

👈🏻 يابني احرص على نشر العلم حتى في المجالس كمجالس القهوة، أوالغداء، أوما أشبه ذلك

👈🏻 ولاتترك مجلسا واحدا إلا وأهديت إلى الجالسين ولومسألة واحدة، أوصاني بذلك وأنا أوصيكم بذلك؛ لأنها وصية نافعة” اهـ 

التعليق على صحيح مسلم/حديث 152،1147،1154
“Seseorang dari kalangan awam telah menasehatiku. Ia berkata kepadaku,

👉🏻 ‘Bersemangatlah dalam menyebarkan ilmu di majlis-majlis spt ketika duduk-duduk minum kopi, atau makan siang dang semisalnya. 

👉🏻 Dan janganlah engkau tinggalkan satu majlispun, kecuali engkau memberikan hadiah satu masalah.

Dia memberikan wasiyatku dengan perkara tersebut dan aku wasiyatkan kalian pula dengannya pula.” (At-Ta’liiq ‘Ala Shohih Muslim hadits no. 152, 1147, 1154)
🔹قال الشيخ صالح آل الشيخ حفظه الله

✏Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah berkata:
أعظم ما تجاهد به أعداء الله جل وعلا والشيطان نشر العلم ،فانشره في كل مكان بحسب ما تستطيع . 

الوصايا الجلية : (٤٦)
“Yang paling terbesar engkau berjihad dengannya musuh-musuh Allah dan syaithan adalah menyebarkan ilmu. Maka sebarkanlah di setiap tempat sesuai kemampuanmu.” (Al Washooyaa al-Jaliyah hal 46)
🍫Zaki Abu Kayyisa

Awas, Banyak Hadits Palsunya !

📕 *KITAB DURRATUN NASHIHIN*

⚠ Awas, Banyak Hadits Palsunya !

Kitab Durrratun Nasihin adalah termasuk salah satu kitab yang menjadi pegangan utama para saudara kita muballigin dari Nahdlatul Ulama (NU).

Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah. Tentang kitab ini, kami kutipkan pernyataan Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (1/80-81), dengan ringkas sebagai berikut:

“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah [ Empat kitab Sunan; Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an Nasa’i dan Ibnu Majah,], Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu dan dusta.

Kitab Durrotun Nashihin (Mutiara-mutiara Nasihat) tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, apalagi sebagai pegangan dalam beragama. Karena kitab ini banyak memuat kisah-kisah imajiner yang tak jelas sumbernya.Penilaian terhadap Kitab Durrotun Nashihin itu disampaikan Ustadz Suwito Suprayogi, dosen LPDI (Lembaga Pendidikan Dakwah Islam) Jakarta kepada Pelita, Senin (3/12) sehubungan adanya hasil penelitian yang diseminarkan di Pesantren Al-Hikmah di Benda Sirampong Brebes Jawa Tengah bahwa sejumlah kitab kuning megandung hadist-hadits maudhu’ (palsu). Maka kitab itu disarankan agar tidak diajarkan di pesantren-pesantren. Di antara yang dinilai mengandung hadits-hadits palsu adalah Kitab Durrotun Nashihin (sudah diterjemahkan) Al-‘Ushfuriyyah (diterjemahkan oleh Mustafa Helmy), Wasyiyatul Mushtofa, Daqoiqul Akhbar, Tankihul Qoul, Sittin Mas’alah, dan Qurrotul ‘Uyun. (Pelita, 23/12 1993).

Kitab Durratun Nashihin begitu populer di Indonesia, India, dan Turki. Namun, menurut hasil penelitian Dr. Lutfi Fathullah, 30% dari 839 hadis di dalamnya ternyata berkategori palsu.
________________________________________
Judul : Hadits-Hadits Lemah & Palsu Dalam Kitab Durratun Nasihin
Penulis : Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA.

Buku ini menjelaskan tentang kualitas dan hukum hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan dalam kitab “Durratun Nashihin.” Dalam studi takhrij hadits menyimpulkan bahwa banyak hadits-hadits dalam kitab tersebut yang dhaif (lemah) bahkan maudhu’ (palsu) yang tidak absah untuk dijadikan hujjah dalam beribadah. Namun demikian dalam fenomena masyarakat muslim khususnya di Indonesia kitab tersebut sangatlah masyhur dan dijadikan hujjah dalam pelaksanaan ibadah di kalangan mereka. Kehadiran buku ini mudah-mudahan dapat memberikan taushiyah kepada umat Islam didalam pengambilan dalil-dalil sebagai hujjah dalam pelaksanaan ibadahnya.

Berdasarkan studinya itu, Lutfi menyarankan agar umat Islam–khususnya kiai dan ulama–lebih hati-hati dalam menggunakan hadis dan tidak asal sebut.

https://www.facebook.com/pages/Memurnikan-Aqidah-Menebarkan-Sunnah-Tegar-Di-Atas-Sunnah/355245391233702?ref=stream

•═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
📮 Join Channel @MuliaDenganSunnah
di Telegram :  https://goo.gl/X2h0P7
➡️ FB : https://goo.gl/tJdKZY
📚 WA MULIA DENGAN SUNNAH
📱 081381173870 Admin

Mengikut Sanad

“Nabi Muhammad saww. telah bersabda supaya umat mengikuti sanad:
Dari Abdullah ibn Mas’ud ra., Rasulullah saww. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).

Rasulullah saww. bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah saww. bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (HR. Ath Thabarani) Ibnul Mubarak berkata : ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa

berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32 )

Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saww. Bersabda : ”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka.”. (HR.At Tirmidzi)

Imam Malik ra. berkata : “Hendaklah seseorang penuntut itu hafalannya (matan hadith dan ilmu) daripada ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran)”. (Al-Kifayah oleh Imam Al Khatib m/s 108)

Imam Asy Syafi’i ra. mengatakan : “Tiada ilmu tanpa sanad.”.

Imam Asy Syafi’i ra. juga berkata : “Baransiapa yang bertafaqquh (coba memahami agama) melalui isi kandungan buku-buku, maka dia akan mensia-siakan hukum (kefahaman sebenar-benarnya).”. (Tazkirah As-Sami’e: 87)

berkata Imam Asy Syafi’i ra. : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)

Berkata pula Imam Ats Tsauri ra. : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad.”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Al-Hafidh Imam Ats Tsauri ra. mengatakan : “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.”.

Bahkan Al Imam Abu Yazid Al Bustamiy ra. berkata : “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan.”. (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203)

Asy Syeikh As Sayyid Yusuf Bakhour Al Hasani menyampaikan bahwa : “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan.“.

Sheikh Ibn Jama’ah berkata : “Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku).”. (Ibn Al-Jama’ah: 87 dan dinukilkan dalam Muqoddimah Syarh Al-Maqawif 1/90)

Imam Badruddin ibn Jama’ah : “Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu berusaha mendapatkan Syeikh yang mana dia seorang yang menguasai ilmu-ilmu Syariah secara sempurna, yang mana dia melazimi para syeikh yang terpercaya di zamannya yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat dengan para ulama’, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu hanya dari lembar kertas dan tidak pula bersahabat dengan para syeikh (ulama’) yang agung.”. (Tazkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim 1/38)

dan Nabi juga memerintahkan supaya berpegang tegung pada jamaah mayoritas,
Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah saww. bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”. (HR. Ibnu Majah No. 3950, Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan Ath Thabarani dalam Musnad Al Syamiyyin (2069).

Wallahu a’lm bishshowab.

Itulah beberapa hadits dan dalil-dalil tentang pentingnya menuntut ilmu dengan berguru dan bersanad. ”

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

Isnad

الإسناد خصيصة فاضلة لهذه الأمة،
Isnad merupakan  kekhususan, keutamaan bagi umat (islam) ini.
وليست لغيرها من الأمم السابقة،
Dan bukan untuk selainnya (Islam) dari umat-umat terdahulu
وهو سنة بالغة مؤكدة،
Dan (isnad) itu merupakan sunah yang sangat di kuatkan
فعلى المسلم أن يعتمد عليه في نقل الأحاديث والأخبار.
Maka bagi orang Islam wajib bersandar atasnya (isnad) dalam menukil hadits-hadits dan khabar-khabar.
قال ابن المبارك: “الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء”
Ibn Mubarok mengatakan : ” Isnad itu termasuk agama, seandainya tidak ada isnad niscaya orang akan mengatakan apa yang ia kehendaki.”
وقال الثوري: “الإسناد سلاح المؤمن”
Ats-tsauri mengatakan : ” Isnad adalah pedangnya orang iman.”

Sumber : kitab Taisir Mushtholah Hadits (Mahmud Thohhan) juz 1, hal.224
( الباب الرابع: الإسناد وما يتعلق به)

Belajar hanya dari Kitab

Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

Soal Ketujuh:
Bagaimana pendapat anda tentang ungkapan yang berulang kali terucap oleh banyak penuntut ilmu yaitu bahwa barangsiapa gurunya adalah kitab maka dia akan tersesat dari kebenaran?

Jawaban:
Adapun ungkapan yang sudah dikenal adalah barangsiapa gurunya adalah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak daripada benarnya. Inilah ungkapan yang telah kita ketahui.

Hal ini adalah sesuatu yang benar. Barangsiapa yang tidak belajar kepada ulama, tidak mengambil ilmu dari mereka dan tidak mengenal jalan-jalan yang mereka tempuh dalam menuntut ilmu, dia akan banyak melakukan kesalahan. Dia akan mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan karena kebodohannya terhadap dalil-dalil yang syar’i dan keadaan-keadaan yang ditempuh serta diamalkan oleh para ulama.

Adapun ungkapan bahwa kesalahannya akan lebih banyak daripada kebenarannya, hal ini perlu ditinjau kembali. Namun yang jelas, kesalahannya akan banyak jika dia tidak belajar kepada ulama, tidak mengambil faidah dari mereka, tidak mengetahui prinsip-prinsip yang menjadi landasan mereka. Karena itulah dia melakukan banyak kesalahan, dan tidak mampu membedakan antara yang salah dan yang benar pada kitab-kitab yang masih berupa tulisan aslinya, atau yang sudah tercetak.

Terkadang kesalahan ada pada kitab, namun dia tidak tahu dan tidak mampu membedakan, sehingga disangkanya bahwa hal tersebut adalah benar. Lalu dia berfatwa dengan menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wata’ala, karena dia tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut disebabkan terjadinya kesalahan pada kitab tersebut.

Contohnya: Tertulis dalam kitab “Tidak boleh demikian dan demikian.” Sementara yang benar adalah “Boleh demikian dan demikian”, di mana ada tambahan kata “Tidak”. Atau sebaliknya, “boleh ini dan itu”, namun yang benar adalah “tidak boleh”. Ternyata tulisan “tidak” hilang pada cetakan tersebut atau pada tulisannya yang asli, sehingga terjadilah kesalahan yang fatal.

Begitu juga terkadang dia menemukan kesalahan tersebut dalam permasalahan ibadah, yaitu “Demikian dan demikian adalah sah”. Sedangkan yang benar adalah “Demikian dan demikian tidak sah”. Maka perkara tersebut menjadi campur baur karena dia tidak memiliki ilmu untuk membedakannya, sehingga ia tidak mengetahui kesalahan yang terjadi pada kitab-kitab dan hal-hal yang semisalnya.

(Sumber: https://ulamasunnah.wordpress.com dinukil dari kitab Masuliyati Thalibil Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna, Jogjakarta)

Fatwa Penuntut Ilmu (7): Belajar hanya dari Kitab

Hukum mentafsir Qur’an

حكم تفسيره
Hukum mentafsir al-qur’an
[فصل] ويحرم تفسيره بغير علم والكلام في معانيه لمن ليس من أهلها والأحاديث في ذلك كثيرة والاجماع منعقد عليه
Fasal, dan diharamkan mentafsirnya dengan tanpa ilmu, dan (haram) berbicara mengenai makna-maknanya bagi orang yang bukan ahlinya, dan hadits-hadits tentang demikian (keharaman) itu banyak, dan ijma terikat atasnya.
 وأما تفسيره للعلماء فجائز حسن والاجماع منعقد عليه
Dan adapun mentafsirnya, bagi ulama, maka boleh lagi bagus, dan ijma terikat atasnya.
فمن كان أهلا للتفسير جامعا للأدوات حتى التي يعرف بها معناه وغلب على ظنه المراد فسره
إن كان مما يدرك بالاجتهاد كالمعاني والأحكام الجلية والخفية والعموم والخصوص والإعراب وغير ذلك
Maka siapa saja yang dia ahli untuk mentafsir dengan menguasai (ilmu) penunjangnya, sehingga yang dengannya diketahui maknanya dan mengalahkan prasangkanya pada (makna) yang dimaksudnya, maka ia (boleh) mentafsirnya, jika tafsir itu dari yang dapat dijumpai dengan ijtihad, seperti : makna-makna, hukum-hukum yang jelas, samar, umum, dan khusus, i’rob, dan selain itu,
وإن كان مما لا يدرك بالاجتهاد كالأمور التي طريقها النقل وتفسير الألفاظ اللغوية فلا يجوز الكلام فيه إلا بنقل صحيح من جهة المعتمدين من أهله
dan jika dari yang tidak dijumpai dengan ijtihad, seperti perkara-perkara yang jalannya dengan manqul (naqli), dan tafsir lafafz-lafadz secara bahasa maka tidak boleh berbicara didalamnya kecuali dengan manqul (naqli) yang sah dari arah orang-orang yang berpegang/bersandar dari ahlinya.
وأما من كان ليس من أهله لكونه غير جامع لأدواته فحرام عليه التفسير لكن له أن ينقل التفسير عن المعتمدين من أهله
Dan adapun orang yang tidak termasuk ahlinya, karena keadaannya yang tidak menguasai (ilmu-ilmu) penunjangnya, maka haram baginya mentafsir, akan tetapi in untuk dia adalah manqul (menukil/belajar) tafsir dari orang-orang yang berpegang (belajar) dari ahlinya.
 ثم المفسرون برأيهم من غير دليل صحيح أقسام
Kemudian, orang-orang yang mentafsir dengan ro’yi mereka dengan tanpa dalil sahih, terbagi beberapa bagian :
* ١ – منهم من يحتج بآية على تصحيح مذهبه وتقوية خاطره مع أنه لا يغلب على ظنه أن ذلك هو المراد بالآية وإنما يقصد الظهور على خصمه
1- dari mereka, orang yang berhujjah dengan ayat diatas kesahihan madzhabnya dan kuatnya kehati-hatiannya, disertai ia tidak mengalahkan prasangkanya bahwa itu lah yang dimaksud dengan ayatnya, dan sesungguhnya ia bermaksud menampakkan perdebatannya
* ٢ – ومنهم من يقصد الدعاء إلى خير ويحتج بآية من غير أن تظهر له دلالة لما قاله
2- dan dari mereka, orang yang bermaksud mengajak pada kebaikan dan berhujjah dengan ayat yang ia tidak tahu dalil terhadap apa yang ia katakan.
* ٣ – ومنهم من يفسر ألفاظه العربية من غير وقوف على معانيها عند أهلها وهي مما لا يؤخذ إلا بالسماع من أهل العربية وأهل التفسير كبيان معنى اللفظ واعرابها وما فيها من الحذف والاختصار والاضمار والحقيقة والمجاز والعموم والخصوص والتقديم والتأخير والاجمال والبيان وغير ذلك مما هو خلاف الظاهر
3- dan dari mereka, orang yang mentafsir lafadz-lafadznya yang berbahasa arab dengan tidak sesuai dengan makna-maknanya disisi ahlinya, dan itu termasuk yang tidak dapat diambil (dipelajari) kecuali dengan mendengarkan dari bangsa arab dan ahli tafsir, seperti penjelasan makna lafadz, i’robnya, dan yang ada didalamnya berupa : menghapus (الحذف), meringkas, kata ganti, denotasi, majaz, umum, khusus, mendahukukan, mengakhirkan, secara umum, penjelasan, dan selain itu yang berbeda dengan yang tampak.
ولا يكفي مع ذلك معرفة العربية وحدها بل لا بد معها من معرفة ما قاله أهل التفسير فيها فقد يكونون مجتمعين على ترك الظاهر أو على إرادة
الخصوص أو الاضمار وغير ذلك مما هو خلاف الظاهر وكما إذا كان اللفظ مشتركا في معان فعلم في موضع أن المراد أحد المعاني ثم فسر كل ما جاء به فهذا كله تفسير بالرأي وهو حرام والله أعلم
Dan tidak cukup beserta yang demikian itu, hanya dengan mengerti bahasa arab saja, bahkan seharusnya disertai pula dengan memahami yang dikatakan ulama tafsir mengenainya, karena mereka (ahli tafsir) bersepakat meninggalkan yang tampak, menghendaki yang khusus, yang tersembunyi, dan selain itu dari yang berbeda dengan yang tampak, dan sebagaimana ketika ada lafad yang berisytirok dalam beberapa makna sehingga diketahui pada satu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satunya dua makna, lalu ia menjelaskan setiap maknanya tersebut, maka kesemuanya ini adalah tafsir dengan ro’yi, dan itu harom. Alloh ‘alam