RIJAِLUL HADITS DAN MADRASAH MEREKA

RIJAِLUL HADITS DAN MADRASAH MEREKA
Oleh : Abu Abdil Bari, Muhammad Yani Abdul Karim, Lc, MAg

I. PENGERTIAN ISNAD DAN URGENSINYA

Sanad adalah pengabaran (penyampaian) dengan melalui matan. Sedangkan isnad maknanya adalah mengangkat hadits (ucapan) sampai kepada orang yang mengucapkannya. Para Muhadditsin menggunakan istilah sanad dan isnad untuk hal yang sama, yakni silsilah (rangkaian) rijaal (periwayat hadits) yang menyampaikan ke matan. Adapun matan adalah apa yang sampai padanya ujung sanad berupa ucapan.

Isnad merupakan suatu kekhususan yang utama bagi ummat ini dimana dia tidak ada pada ummat-ummat terdahulu. Oleh karena itulah hilang atau berubahlahlah kitab-kitab samawiyah yang ada pada mereka. Sebagaimana telah hilang hadits-hadits (ucapan dan berita) tentang nabi-nabi mereka dan posisinya digantikan oleh kebohongan dan kedustaan.

Isnad memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena asalnya adalah ummat menerima agama ini dari sahabat dan mereka menerimanya dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan beliau menerimanya dari Rabbul-izzah baik dengan perantara ataupun tidak. Dan diriwayatkan dengan jalan shohih dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ

Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mubarak bahwasanya beliau berkata:

« الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ »

“Isnad itu bagian dari din, kalaulah bukan isnad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”

Dan beliau (Muslim) meriwayatkan juga dengan isnadnya dari Ibnu Sirin ucapannya :

« إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ  »

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”

Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Imam Abdullah ibnul Mubarak bahwa ia berkata:

« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ يَعْنِي الْإِسْنَادَ »

“Antara kita dengan kaum-kaum itu (yang berdusta atas nama hadits) adalah isnad”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Imam Sofyan Ats Tsauri ucapannya :

«الإِسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ السلَاح فَبِأَي شَيءٍ يُقَاتِلُ»

“Isnad itu adalah senjata seorang mukmin, maka kalau ia tidak punya senjata dengan apa ia berperang?”

II. MUNCULNYA ILMU RIJAAL

a. Mulainya penggunaan isnad

Penggunaan isnad ini sebenarnya telah ada di masa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yaitu bermula dari sikap taharri (kehati-hatian) mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallohu anhu dalam kisah nenek yang datang meminta bagian warisan, kemudian kisah Umar bin Al Khaththab radhiyallohu anhu dalam peristiwa isti’dzan (minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib radhiyallohu anhu dimana beliau meminta bersumpah bagi orang yang menyampaikan padanya hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.

Hanya saja makin banyaknya pertanyaan terhadap isnad dan makin intensnya orang meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi setelah terjadinya fitnah Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di akhir-akhir kekhalifaan Utsman bin Affan radhiyallohu anhu dan penggunaan sanad terus berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits tersebut dan mengenali keadaan mereka.

Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau berkata :

« لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ   «

“Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan isnad, akan tetapi setelah terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’ lalu tidak diterima (ditolak)”

Ali ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin adalah orang yang selalu melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami tidak mengetahui seorang pun yang lebih dahulu darinya.

b. Munculnya ilmu Rijal

Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak dan panjang jumlah perowi dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah ilmu Rijaal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat lainnya.

Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan abad-2. Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam Abdullah bin Mubarak (wafat  181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara berturut-turut muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa kodifikasi ini pembahasan tentang perowi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke masa.

III. CABANG-CABANG ILMU RIJAL

Para penyusun kitab-kitab dalam ilmu Rijal pada masa-masa awal menempuh beberapa metode sehingga hal ini melahirkan percabangan dalam ilmu rijal al hadits, diantaranya:

Kitab-kitab tentang Thobaqat ar Rijal melahirkan ilmu thobaqaat (tingkatan-tingkatan rijal) yang mencakup 4 thabaqat (sahabat, taabi’un, atbaa’ut tabi’in dan taba’ul atba’)
Kitab-kitab Ma’rifah Ash Shohaabah melahirkan ilmu tentang ma’rifatush shohabah (pengenalan tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam)
Kitab-kitab al jarh wat ta’dil melahirkan ilmu tentang al jarh wat ta’dil
Ketiga jenis kitab rijal ini pertama kali muncul di sekitar penghujung abad II H dan pertengahan abad III H, setelah itu menjadi banyak dan meluas

Kitab-kitab Tawarikh al Mudun (sejarah kota-kota/negeri-negeri), yang memuat biografi para ruwaat (rijaalul hadits) pada suatu negeri/kota tertentu. Ilmu ini mulai muncul pada paruh kedua dari abad III H
Kitab-kitab Ma’rifatul Asmaa wa Tamyiizuha (pengenalan  terhadap nama-nama perowi dan cara membedakannya). Ilmu ini muncul agak belakangan dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat hadits semakin banyak, dan nama kuniyah dan nasab mereka banyak yang serupa sehingga dibutuhkan pembedaannya.
Kitab-kitab biografi rijaal al hadits yang terdapat pada suatu kitab hadits atau beberapa kitab hadits tertentu. Kitab-kitab ini muncul belakangan dan mulai meluas setelah abad V H.
IV. SEKILAS TENTANG ILMU THOBAQAT

Thobaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.

Asal mula pembagian perowi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)

Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya

Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thobaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah, thobaqaat asy syu’ara dan sebagainya.

Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad…”

V. THABAQAT RUWAAT (RIJALUL ISNAD)

Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :

Thobaqah Pertama : Sahabat

Thobaqah Kedua : At Taabi’un

Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in

Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’

VI. MADAARISUL ‘ILM AL UULA (Madrasah-madrasah ilmu yang pertama kali muncul)

a. Para Imam yang pada mereka beredar riwayat-riwayat di kota-kota pusat ilmu

Menurut Imam Ali ibn Abdullah Al Madini (wafat tahun 234 H) bahwa isnad itu beredar pada 6 orang:

Untuk Penduduk Medinah : (1) Ibn Syihab yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdillah ibn Syihab Az Zuhri, kuniyahnya adalah Abu Bakar (wafat 124 H)

Untuk Penduduk Mekkah : (2) Amru ibn Dinar, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 124 H)

Untuk Penduduk Bashrah : (3) Qatadah ibn Di’amah As Sadusi, kuniyahnya Abul Khaththab (wafat 117 H) dan (4) Yahya ibn Abi Katsir, kuniyahnya Abu Nashr (wafat 132 H)

Untuk Penduduk Kufah : (5) Amru ibn Abdillah As Sabi’I, kuniyahnya Abu Ishaq (wafat 129 H) dan (6) Sulaiman ibn Mihran Al A’masy, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 148 H)

Kemudian ilmu mereka berenam turun kepada tokoh-tokoh berikut ini :

Untuk Penduduk Medinah : (1) Malik  bin Anas bin Abi ‘Amir Al Ashbahi (wafat 179 H) beliau telah mendengar dari Ibn Syihab Az Zuhri dan (2) Muhammad bin Ishaq bin Yasar, kuniyahnya Abu Bakar (wafat 152 H) beliau telah mendengar dari Ibn Syihab Az Zuhri dan Al A’masy

Untuk Penduduk Mekkah : (3) Abdul Malik ibn Abdil Aziz ibn Juraij, Abul Walid (wafat 151 H) dan (4) Sufyan in Uyainah bin Maimun Al Hilali, kuniyah beliau Abu Muhammad (wafat 198 H); beliau bertemu Ibn Syihab, Amru ibn Dinar, Abu Ishaq dan Al A’masy

Untuk Penduduk Bashrah : (5) Said ibn Abi Arubah, kuniyahnya Abun Nadhr (wafat 158/159 H) dan (6) Hammad ibn Salamah, kuniyahnya Abu Salamah (wafat 168 H); dan (7) Abu ‘Awanah Al Wadhdhah (wafat 175 H); dan (8) Syu’bah ibn Hajjaj, kuniyahnya Abu Bistham (wafat 160 H); dan (9) Ma’mar ibn Rasyid,

Untuk Penduduk Kufah : (10) Sufyan ibn Said Ats Tsauri, kuniyahnya Abu Abdillah (wafat 161 H)

Untuk Penduduk Syam : (11) Abdurrahman ibn Amr ibn Al Auza’I, kuniyahnya Abu Amr (wafat 151 H)

Untuk penduduk Wasith : (12) Hasyim ibn Basyir, kuniyahnya Abu Muawiyah (wafat 183 H)

Kemudian ilmu kedua belas orang tersebut sampai kepada 6 orang :

Yahya ibn Said Al Qaththan, kuniyahnya Abu Sa’id (wafat 198 H)
Yahya ibn Zakariyya ibn Abi Zaidah, kuniyahnya Abu Said (wafat 182 H)
Waki’ ibn Al Jarrah, kuniyahnya Abu Sufyan (wafat 199 H)
Abdullah ibn Al Mubarak Al Hanzhali, kuniyahnya Abu Abdirrahman (wafat 181 H)
Abdurrahman ibn Mahdi Al Asadi, kuniyahnya Abu Said (wafat 198 H)
Yahya ibn Adam, kuniyahnya Abu Zakaria (wafat 203 H)
b. Madrasah-madrasah awal

Madrasah Madinah Nabawiyyah
Madrasah Makkah
Madrasah Kufah
Madrasah Bashrah
Madrasah Syam
Madrasah Mesir
Madrasah Khurasan
Referensi :

Ilmu Ar Rijaal; Nasyatuhu wa tathawwuruh, Prof.Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani
Ushul At Takhrij wa Dirasatul Asaaniid, DR. Mahmud Ath Thahhan
Muqaddimah Tahqiq Syarah Shohih Muslim lin Nawawi, pada pasal Al Isnaadu minad dien oleh Syaikh Khalil Ma’mun Syiha

MANQUUL

MANQUUL

I. TA’RIF MANQUUL
Kata manquul (منقول) berasal dari bahasa Arab dalam bentuk “maf’uul bih” (atas “wazan” فَعَلَ-يَفْعُلُ) yang artinya; Sesuatu yang dipindahkan. Adapun kata asalnya (dalam bentuk “fi’il madhi”) adalah; “naqola” (نقل) yang artinya; Dia telah memindahkan.

Sedangkan menurut arti “ishthilah” (terminology keilmuan), manquul adalah; system pemindahan ilmu dari guru ke murid, maka yang dikatakan ilmu yang manquul adalah ilmu yang dipindahkan / transfer dari guru kepada murid.
Dengan kata lain manquul artinya adalah; berguru, yaitu terjadinya pemindahan ilmu dari guru kepada murid.

II. PERANAN MANQUUL DALAM KEILMUAN
Manquul menjadi tradisi keilmuan Islam yang terbukti sangat penting dalam hal penjagaan kemurnian agama Islam. Orang yang pertama-kali memperkenalkan sistem manquul dalam keilmuan Islam adalah Rasulullahi Saw sendiri, dengan sabdanya;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.
Dari Ibnu Abbas dia berkata, Rasulullah Saw bersabda : Kamu sekalian mendengarkan, dan didengarkan dari kamu sekalian, dan didengar dari orang yang mendengarkan dari kamu sekalian”. HR. Abu Dawud : 3661 Shohih

Selanjutnya penyampaian ilmu dengan system manquul ini menjadi tradisi Salafus Shalih (para sahabat, tabiin dan tabiit tabiin) sebagaimana yang dapat kita jumpai penjelasan dari pengantar al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh “Khadim al-Haramian” kerajaan Saudi Arabia, dlm penjelasan mengenai sumber pertama dari penafsiran al-Quran pada periode Mutaqaddimin (golongan awal) adalah;

{Perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah Saw terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat al-Qur’an, tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini disebut “Tafsif Manquul”.} Lihat; Muaqaddimah, Al-Qur’an al-Karim Wa Tarjumatu Ma’anihi Ila al-lughati al-Indonesiyah : 26.

III. PERANAN SANAD DI DALAM SISTEM MANQUUL

Dalam ilmu Hadits, yang dikatakan “manquul” Hadits, berarti belajar Hadits dari guru yang mempunyai isnad (sandaran guru) yang sambung-bersambung hingga Rasulullah Saw. Isnad atau juga dikenal dengan istilah “sanad” memainkan peranan yang sangat penting dalam system manquul, kerana melaluinya maka Hadits-hadits Nabi Saw. dapat dijaga dari pemalsuan atau pendustaan, penambahan ataupun pengurangan, sebab pada pertengahan kurun kedua, yaitu setelah memasuki zaman fitnah, marak kejahatan pemalsuan Hadits-hadits Nabi Saw;

Kejahatan ini terjadi disebabkan setiap golongan berusaha mempertahankan golongan mereka. Melihat fenomena yang menghawatirkan ini, para ulama Hadits mengadakan kajian sanad, Ibn Sirin berkata;

لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا : سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.
Tidaklah mereka (para sahabat) bertanya tentang sanad, namun ketika telah terjadi fitnah (peperangan sesama umat Islam), mereka berkata : sebutkan kepada kami rijal (sanad) kamu, jika dilihat rijalnya dari golongan ahli Sunnah, maka diambil hadits mereka, jika dilihat rijal mereka dari golongan ahli bid’ah, maka tidak diambil hadits mereka. Muslim Al-Muqaddimah : 1/11.

Saking pentingnya sanad sehingga salah satu ahli Hadits yakni Abdullah bin Mubarak menyatakan;

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.
Isnad itu adalah bagian dari agama, kalaulah tanpa isnad, pastilah setiap orang berkata mengikut kehendaknya. Muslim Al-Muqaddimah : 1/12.

Sufyan bin Uyainah berkata;
حَدَّثَ الزُّهْرِيُّ يَوْمًا بِحَدِيثٍ، فَقُلْتُ : هَاتِهِ بِلاَ إِسْنَادٍ، فَقَالَ الزُّهْرِيُّ : أتَرْقَى السَطْحَ بِلاَ سُلَّمٍ ؟
Suatu hari al-Zuhri menyampaikan hadith, maka aku berkata : Sampaikanlah (manquulkan lah) Hadits itu tanpa (menyebut) Isnadnya. Jawab Zuhri : Apakah kamu bisa menaiki bumbung tanpa menggunakan tangga.? Muslim Al-Muqaddimah : 1/12.

Para ulama mengkaji setiap Hadits yang sampai kepada mereka melalui sanad. Setiap Hadits diteliti oleh para ulama, yang dengannya dapat dikenal pasti adakah Hadits itu shahih atau dhaif, bahkan maudhu’ (palsu) atau tidak ada asal baginya (لا أصل له). Para ulama yang mendengar Hadits akan merujuk kepada sanad Hadits tersebut.

IV. 8 SISTEM MANQUUL YANG DIKENAL DALAM ILMU HADITS

Di dalam kajian Ilmu Hadits ada 8 cara manquul yang diakui oleh para ulama, yaitu; As-Sama’, al-Qiraah ala as-Syaikh, al-Ijazah, al-Muanawwalah, al-Mukatabah, al-I’lam, al-Washiyyah dan yang terakhir adalah al-Wijadah, adapun penjelasan ringkasnya sebagai berikut:

1. As-sama’ Min lafzh as-Syaikh (السمع من لفط الشيخ)
Penerimaan Hadits atau ilmu dengan cara mendengar langsung dari guru yang mendiktekan dari hafalannya atau catatannya, cara seperti ini oleh mayoritas ulama’ dinilai sebagai cara yang paling tinggi kualitasnya.

2. Al-Qira’ah ala as-Syaikh (القراءة على الشيخ)
Adalah murid atau temannya (sesama murid) membacakan Hadits atau ilmu yang akan dipelajari di hadapan guru yang menyimak melalui hafalan atau catatannya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh imam as-Syafii ketika manquul Kitab Muwattha’ kepada imam Malik, atau imam an-Nasa’i ketika manquul dari guru yang membenci beliau, yaitu Harits bin Miskin.
Catatan : Al-Qiraah ini juga disebut dengan istilah al-ardh (العرض).

3. Al-ijazah (الإجازة)
Guru memberikan izin kepada seseorang (murid) untuk meriwayatkan (menyampaikan) ilmu yang ada pada guru, dengan berkata; Anda saya beri ijazah (kewenangan) untuk meriwayatkan Hadits shahih al-Bukhari.

4. Al-munawalah (المناولة)
Cara munawalah adalah guru memberi kitab Hadits kepada muridnya, atau si guru menyuruh murid agar menyalin kitab darinya, ada dua jenis munawalah, yaitu;
1. Al-Munawalah al-maqrunah bil ijazah, yaitu; Munawalah disertai dengan ijazah, cara seperti ini sama dengan cara ijazah.
2. Al-munawalah al-maqrunah al-Mujarradah, yaitu; Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah contohnya seorang guru berkata kepada muridnya; Ini Hadits yang telah saya dengar, sang guru tidak menyatakan pernyataan agar murid meriwayatkan Hadits tersebut.
Catatan; Yang dianggap sah dalam penyampaian Hadits adalah munawalah disertai ijazah.

5. Al-mukatabah; (المكاتبة)
Guru menulis Hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang (murid) tertentu, yang saat penulisan tersebut bisa jadi ada di hadapan guru atau di tempat lain. Kalimat yang digunakan antara lain adalah;

6. Al-I’lam (الإعلام)
Guru memberi tahu kepada murid akan adanya Hadits yang pernah diterimanya dari gurunya, tanpa disertakan penjelasan secara detailnya.

7. Al-Wasiyyah (الوصيىة)
Guru mewasiatkan kitab Hadits kepada salah satu muridnya dengan tanpa pernah membacakannya secara langsung kepada murid.

8. Al-Wijadah (الوجادة)
Seseorang yang membaca kitab atau tulisannya orang lain dengan tanpa as-sama’ ataupun ijazah. Kalimat yang digunakan antara lain adalah;
Cara wijadah seperti ini oleh para ulama’ dianggap paling rendah kualitasnya bahkan seorang ahli Hadits yang bernama Ahmad Muhammad Syakir tidak membolehkan periwayatan dengan cara al-wijadah ini, menurutnya bila cara ini dibiarkan terus maka akan terjadi pemindahan riwayat (ilmu) secara dusta.

Rujukan; Ahmad Muhammad Syakir Al-Bais al-Hasisi Ikhtishar Ulumul Hadits : 141-142.

MANQUL, MUSNAD, MUTTASHIL DAN RO’YI/PENDAPAT

MANQUL, MUSNAD, MUTTASHIL DAN RO’YI/PENDAPAT

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله
أما بعد

Sesuai dengan judul di atas dalam PEMAPARAN dibawah ini akan dipaparkan pokok-pokok perbahasan yang meliputi:

1) Pengartian Manqul, Musnad, Muttashil dan Ro’yi
2) Wajibnya Manqul dan Haramnya Ro’yi
3) Utamanya/tinggi Ilmu Manqul, Musnad, Muttashil

1. PENGARTIAN MANQUL, MUSNAD, MUTTASHIL DAN RO’YI
1.1 MANQUL
Manqul dari bahasa arab berasal dari kata Naqola. Manqul secara harfiyah artinya yang dipindahkan. Adapun arti menurut agama Islam adalah belajar mengaji Quran dan Hadis dengan cara berguru atau ilmu Quran dan Hadis yang dimiliki oleh seseorang itu diperoleh melalui proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Adapun sistem manqul ada beberapa macam cara antara lain:-
a) Guru yang membacakan ilmu, murid mendengarkan.
b) Guru sedang mengajar ilmu kepada muridnya kemudian ada orang lain mendengarkannya.
c) Dengan sistem munawalah yaitu guru memberi hak/persetujuan kepada muridnya yang dipandang sudah menguasai ilmu manqul untuk mengerjakan dan mengajarkan ilmu tersebut atau guru berkirim surat yang berisi Al Quran dan atau Hadis kepada muridnya tentang suatu masalah lalu murid membaca dan melaksanakannya.

1.2 MUSNAD
Musnad artinya ilmu yang diberikan itu mempunyai sanad/isnad yang sahih, hasan, dll. Sanad/isnad (berasal dari kata asnada) artinya sandaran, tempat bersandar. Maksudnya mengajarkan (membaca, memberi makna dan menerangkan) Al Quran dan Hadis dengan sandaran guru yang mengajarkan kepadanya, gurunya dari gurunya lagi dan seterusnya. dengan metode demikian maka akan terlihat mana2 riwayat tingkatan keotentikan suatu hadits, seperti: sahih, hasan, gorim dll.

1.3 MUTTASHIL
Muttashil artinya bahwa masing-masing sanad/isnad itu bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Jadi manqul-musnad-muttashil artinya mengaji Al Quran dan Hadis secara langsung seorang atau beberapa orang murid yang menerima dari seorang atau beberapa gurunya tersebut asalnya menerima langsung dari gurunya dan gurunya menerima dari gurunya lagi, sambung bersambung begitu seterusnya tanpa terputus sampai kepada penghimpun Hadis separti Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah dll yang telah menulis isnad-isnad mereka mulai dari beliau-beliau (penghimpun Hadis) sampai kepada Rosululloh SAW. Rosululloh bersambung sehingga Jibril dan Jibril daripada Alloh.

1.4 RO’YI
Ro’yi berasal dari kata ro’aa artinya pandangan, pengelihatan, pendapat, maksudnya adalah belajar atau mengkaji Al Quran dan Hadis sendiri tanpa guru, tidak memiliki isnad muttashil atau berguru dari guru yang tidak berisnad atau membaca buku-buku/ kitab-kitab sendiri kerana merasa bisa menafsir bahasa arab sendiri, difaham-fahami sendiri, diangan-angankan sendiri. Sehingga pengamalannya hanya berdasarkan sangkaan belaka/hawa nafsu.

2. WAJIBNYA MANQUL DAN HARAMNYA RO’YI
Menurut aslinya mengkaji atau mempelajari ilmu Al quran dan Hadis itu harus dengan metode manqul-musnad- muttashil dan muhlis kerana Alloh. Kerana penyampaian ilmu Al Quran dan Hadis dengan cara manqul, musnad, muttashil adalah cara yang dipraktikkan oleh Rsululloh SAW, para sahabat, para tabi’in dan ulama-ulama salafusssholihin.
Dari beberapa ayat Al Quran dan Hadis yang telah kita kaji bersama secara manqul kita telah mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas bahwa Alloh menurunkan wahyu kepada Rosululloh SAW dengan sistem manqul yaitu dimanqulkan oleh Malaikat jibril secara teori dan praktikal. Misalnya ketika Rosululloh SAW menerima kemanqulan bacaan Al Quran diperingatkan untuk tidak tergesa-gesa menggerakkan lisan-lisannya mendahului Malaikat Jibril tetapi supaya memperhatikan dahulu setelah Malaikat Jibril selesai membacakan Al Quran, lalu Rosululloh SAW baru disuruh mengikuti bacaan tersebut.
Firman Alloh yang bermaksud: “Kamu jangan menggerakkan lisanmu (untuk mendahului Malaikat Jibril dalam membaca Al Quran) kerana tergesa-gesa dengannya. Sesungguhnya atas kami pengumpulan Al Quran dan bacaannya. Maka ketika selesai kami bacakan Al Quran itu maka ikutilah bacaannya kemudian sungguh ada pada kami keterangan Al Quran itu. (Al Qiyaamah 16-19)
Inilah bukti Rosululloh SAW menerima wahyu secara manqul. Contoh lagi ialah pada waktu Alloh menurunkan wahyu pertama kali yaitu surah Al-Alaq, Malaikat Jibril membacakan lafaz iqro, maka Rosululloh SAW juga menirukan lafaz iqro. Contoh lagi ialah pada waktu Alloh menurunkan wahyu tentang waktunya solat. Malaikat Jibril menunjukkan waktunya solat dengan cara mengajak solat bersama setiap waktu solat selama 2 hari berturut-turut yaitu hari pertama dikerjakan waktu awalnya solat dan hari kedua dikerjakan pada waktu akhirnya solat. Setelah itu Rosululloh SAW dan ummatnya disuruh mengerjakan solat pada waktu yang telah ditentukan antara awal dan akhirnya waktu solat.
Para sahabat dan para tabi’in juga menggunakan ilmu manqul. Sufyan bin Uyainah pernah bercerita : Zuhri (perawi hadis) pada suatu hari meriwayatkan sebuah hadis, maka aku berkata ” Ceritakan padaku tidak usah pakai isnad”. Imam Zuhri menjawab: “Apakah engkau bisa naik loteng tanpa naik tangga?”.
Imam Tsaury berkata: “Isnad itu senjata orang mukmin”
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mencari isnad yang luhur itu sunnah orang dahulu kerana sesungguhnya teman-teman Abdullah itu berangkat dari Kufah menuju Madinah, mereka belajar dari Umar dan mendengarkan beliau”. Jadi orang dahulupun mencari ilmu pada orang yang berguru.
Ibnu Mubarak (perawi hadis) berkata di dalam mukadimmah Hadis Riwayat Muslim
“Dari Ahli Marwa berkata, saya mendengar Abdan bin Usman berkata, saya mendengar dari Abdullah bin Mubarak ia berkata “Isnad itu termasuk (bagian dari) agama dan seandainya tidak ada isnad maka orang akan berkata (masalah agama) sesuka hatinya”

Imam Hakim dan lain-lainnya meriwayatkan dari Mathor al Waroq mengenai firman Alloh:
“… datanglah kepadaku dengan kitab sebelum ini atau atsar/labet/isnad dari ilmu jika kamu sekelian orang-orang yang benar” (Surah Al-Ahqaaf :4)
Dia berkata: “Atsarotin adalah isnadul Hadis”
Muhammad bin As Syafie yang menyusun kitab Hadis Musnad Syafie beliau mempelajari kitab Hadis Muwatta’ yang disusun oleh Imam Malik. Beliau hafal di dalam kepala seluruh isi kitab Muwatta’ tersebut dan faham isinya. Mengingatkan wajibnya manqul maka Imam Abu Idris As Syafie memerlukan datang ke Madinah semata-mata untuk menemui Imam Malik dan mengesahkan ilmunya dengan cara manqul langsung, Imam As Syafie membaca kitab Muwatta’ secara hafalan dan Imam Malik diam mendengarkannya.
Di dalam Hadis Bukhari diriwayatkan : Jabir bin Abdillah merantau sejauh perjalanan satu bulan menemui Abdullah bin Unais hanya untuk mendapatkan satu Hadis Sahaja. Ini menunjukkan wajibnya manqul.
Mengkaji Al Quran dan Hadis dengan cara manqul, musnad, muttashil bukan sekadar methode/cara tetapi hukumnya “WAJIB”
“Kamu mendengarkan dan akan didengarkan dan orang yang telah mendengar dari kamu akan didengar pula.” (Riwayat Abu Daud)
“Dari sahabat Jundab ia berkata: Rosululloh SAW telah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan (menerangkan) kitab Alloh yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan ro’yu/pendapatnya (secara tidak manqul), walaupun benar maka sungguh ia telah salah” (Riwayat Abu Daud). Sedangkan mengkaji Al Quran dan Hadis tanpa manqul atau Ro’yi dilarang dalam agama Islam dan diancam dimasukkan ke dalam neraka. Berarti hukumnya “HARAM” berdasarkan dalil
“Dari Ibnu Abbas r.a berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda “Barang siapa membaca Al Quran tanpa ilmu (tidak sanad/isnad/manqul) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka” (Riwayat At Tirmizi)

3. TINGGINYA (KEUTAMAAN) ILMU MANQUL
Dengan demikian praktik dalam menetapi Al Quran Hadis secara jama’ah ini yang kita junjung tinggi ini berdasarkan dalil-dalil haq dalam Al Quran dan Hadis dan secara kenyataannya Alloh memberikan nilai yang tinggi di antaranya:

3.1 ILMU MANQUL MENGESAHKAN AMALAN
Dengan ilmu manqul amal ibadah seseorang menjadi sah, diterima oleh Alloh, diberi pahala oleh Alloh, dimasukkan syurga. Tetapi tanpa manqul atau ro’yi ibadah seseorang tidak sah, tidak diterima oleh Alloh, tidak mendapat pahala bahkan dimasukkan ke dalam Neraka berdasarkan dalil:
Firman Alloh yang bermaksud: “Dan janganlah kamu mengatakan/mengerjakan pada apa-apa yang tidak ada ilmu bagimu (sanad/isnad/ilmu manqul). Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semuanya itu akan ditanya/diurus oleh Alloh (Surah Al Isra’:36)
“Dari sahabat Jundab ia berkata: Rosululloh SAW telah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan(menerangkan) kitab Alloh yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan pendapatnya(secara tidak bersanad/isnad/ manqul), walaupun benar maka sungguh ia telah salah” (Riwayat Abu Daud)

Orang yang mangaji Al Quran dan Hadis dengan ro’yi (tidak manqul) sama halnya dengan orang yang menggunakan mata uang asli tetapi dengan cara yang tidak sah. Umpamanya uang itu hasil curian atau separti masuk rumah orang lain tanpa izin pemiliknya atau masuk rumah tidak melalui pintu atau merosakkan pintu.

3.2 ILMU MANQUL MENJAGA KEMURNIAN AGAMA
Kemurnian agama Islam dapat dijaga dengan cara manqul-musnad-muttashil kerana kita mengatakan, mengamalkan Al Quran dan Hadis ada sandarannya/sanadnya/silsilahnya yang sambung-bersambung sampai Rosululloh SAW tanpa berani menambah, mengurangi atau mencampur dengan pendapat sendiri, angan-angan sendiri, menafsirkan sendiri, otak-atik sendiri. Sehingga ilmu Al Quran dan Hadis tetap terjaga kemurniannya. Jika kita berani menambah, mengurangi atau mencampuri Al Quran dan Hadis di luar ilmu yang telah dikaji berdasarkan sanad periwayatan/ kemanqulannya diancam dimasukkan ke dalam Neraka.
Berdasarkan sabda Rosululloh SAW yang bermaksud: “Takutlah kamu pada Hadis dariku kecuali apa-apa yang kamu ketahui. Barang siapa yang dusta atasku dengan sengaja (hadis bukan dari Nabi dikatakan dari Nabi atau dari Nabi dikatakan bukan dari Nabi) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka dan barang siapa yang mengatakan tentang Al Quran dengan pendapatnya sendiri (bid’ah, taqlid, takhoyul, syirik, khurofat, dll) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka” (Riwayat at Tirmizi)
Terjaganya kemurnian agama Islam dengan cara manqul-musnad-muttashil jauh dari bid’ah, syirik, khurafat, tahyul dan lainnya dapat digambarkan sebagaimana air gunung yang jernih, bersih, sejuk dan terasa segar bagi sesiapa sahaja yang minum di tempat sumbernya (mata airnya). Jika ada orang yang ingin merasakan (minum) air itu jauh dari sumbernya/tempat mata iarnya maka harus melihat kepada saluran apa air datang ke situ.
Kalau saluran itu berupa sungai yang terbuka tidak terjaga maka automatik rasanya akan berubah bahkan bisa menjadi racun kerana banyak orang yang membuang kotoran, toksid, sisa rumah tangga, sisa industri, sampah ke sungai itu, sehingga sungai itu tercemar. Tetapi jika saluran air itu melalui pipa yang baik dan kuat serta terjaga rapi meskipun jauh dari sumbernya. Bahkan walaupun di dalam tandas-tandas sekalipun, air yang keluar daripada pipa akan tetap sama dengan di tempat-tempat lain sama ada di dalam kota atau di kampung-kampung, maka rasa air yang keluar dari paip akan sama segarnya dan sama bersihnya dengan air ditempat sumbernya.
Ilmu digambarkan air, sumber mata air menggambarkan asalnya ilmu yaitu dari Alloh dan Rosululloh SAW. Sedangkan paip yang baik dan kuat digambarkan sebagai isnadnya. Inilah gambarannya!

3.3 ILMU MANQUL MUDAH DIFAHAMI DALAM WAKTU YANG SINGKAT
Dengan sistem manqul ilmu Al Quran dan Hadis akan mudah untuk difahami dalam waktu yang relatif singkat, tidak berpusing-pusing/berbelit-belit sehingga kita segera dapat mengamalkannya dengan benar dan sah. Sebagaimana keterangan-keterangan yang kita terima dari para mubalik, bahwa syaikh Nurhassan Al Ubaidah pada waktu mengaji secara manqul di tanah Hijjaz Mekah Al Mukarramah-Madinah hanya memerlukan waktu 10 tahun sahaja. Alhamdulillah atas kuruniaan Alloh dalam waktu 10 tahun itu beliau dapat menerima kemanqulan Al Quran 30 juz bacaan, makna dan keterangan dengan ilmu alatnya, Qiro’atussab’a (21 macam bacaan) dan dapat menamatkan kitab-kitab hadis yang kesemuanya berjumlah 49 Kitab Hadis, semua itu dengan cara manqul dan beliau benar-benar faham terhadap Al Quran dan Hadis yang diterima secara manqul.
Setelah pulang dari Mekah, beliau terus amar makruf kepada sanak saudara, handai taulan, sahabat-sahabatnya, kenalannya dan siapa sahaja untuk diajak menetapi agama Islam yang haq berdasarkan Al Quran dan Hadis secara berjama’ah. Mereka ada yang bergabung dan ada yang menolak juga ada yang merintangi/menentang tetapi beliau tidak jatuh mental/takut, tetap bersemangat dalam amar makruf dengan bermacam-macam cara, di antaranya beliau selalu mengadakan pengajian khataman/asrama Al Quran dan Hadis secara manqul-musnad-muttashil dan tempat pengajiannya berpindah-pindah. Dalam waktu kurang lebih satu bulan setiap khataman/asrama bisa mengkhatamkan Al Quran 30juz bacaan, makna dan keterangan secara jelas, dan mudah difahami sehingga para peserta khataman pulang dari pengajian merasa puas, senang, gembira dan mantap.
Sampai sekarang kita terus menerus melaksanakan pengajian-pengajian Al Quran dan Hadis dengan sistem manqul-musnad-muttashil sehingga dalam waktu yang relatif singkat dapat memahami Al Quran dan Hadis dengan mudah. Separti pengajian khataman/asrama di pondok-pondok, daerah-daerah pada bulan Ramadhan atau waktu lainya dalam waktu kurang dari satu bulan Al Quran 30juz bacaan, makna, keterangan dapat dikhatamkan atau 12 Kitab himpunan Hadis Nabi dapat dikhatamkan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Contoh lagi ialah pengajian Hadis-Hadis Besar separti Sahih Bukhari, Sunan Nasa’I, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmizi dan lainnya dalam waktu kurang lebih 15 hari satu juz dapat dikhatamkan.
Dengan cara manqul pengkajian dan pemahaman terhadap isi Al Quran dan Hadis jadi mudah, jelas, cepat dan tepat kerana ada yang menuntun dan membimbing secara langsung. Sebagai contoh mudah, jelas dan tepatnya dalam menerima Al Quran dan Hadis secara manqul digambarkan separti orang yang disuruh mengambil jarum. Orang yang menyuruh menjelaskan: “Ambilkan jarum, jarumnya berada di dalam almari pakaian yang ada di kamar tidur paling utara, kunci almari ada di atasnya, bukalah almari pakaian itu dan carilah jarum itu pada rak yang paling bawah di situ ada bungkusan kain warna hijau, jadi di situlah letaknya jarum”. Orang yang menerima perintah itu dengan sendirinya akan dengan mudah, cepat dan tepat untuk mengambil jarum yang dimaksudkan.
Sedangkan bagi orang yang tidak manqul digambarkan separti orang yang disuruh mengambil jarum dalam almari tersebut belum sampai dijelaskan/dimanquli dia langsung terus mencari sendiri padahal dalam rumah itu kamarnya banyak almari, pakainnya banyak dan dikunci, maka orang tersebut tidak bisa menemukan jarum yang dimaksudkan, seandainya bisa menemukan, itu hanya suatu kebetulan atau setelah bersusah payah membongkar/menyelongkar seluruh isi rumah.

3.4 ILMU MANQUL MEMPUNYAI KEHEBATAN, WIBAWA, GUNA, JAYA, MULIA
Alloh memberikan “Kehebatan, Wibawa, Guna, Jaya dan Mulia” kepada ilmu manqul. Hanya ilmu Al Quran dan Hadis yang diajar secara manqul-musnad-muttashil yang dapat menumbuhkan keimanan, ketakwaan, kejayaan, kemenangan dan kemuliaan (berupa Syurga).
Kita kembali kepada sejarah perjuangan lampau, Guru/Syaikh Nurhassan Al Ubaidah kita, dalam amar makruf menyampaikan agama Islam yang haq ini dengan berbagai macam cara di antaranya beliau pernah mendatangi atau mengumpulkan beberapa ulama diajak kepada kebenaran kerana yang mereka amalkan selama ini dilihat dari segi AlQoran & AlHadits tidak cocok/sesuai yang sebenarnya, kerana mereka tidak mahu, mereka diajak dialog, jika mereka dapat mengalahkan dengan dasar Al Quran dan Hadis beliau sanggup di perbuat apa sahaja.
Perdebatan yang pernah beliau hadiri salah satunya terjadi pada tahun 1952 bertempat di rumah Ketua Kampung. Perdebatan itu dihadiri oleh lebih kurang 35 orang guru pondok dan umat Islam lebih kurang 1,000 orang dari sekitar kampung. Masalah yang diperdebatkan di antaranya masalah beduk, kentongan, kenduri /doa selamat orang mati, usholi dsb ditinjau dari hukum Islam sebenarnya(ilmu manqul) bahkan mereka disuruh bertanya apa sahaja tentang Islam, semua pertanyaan mereka dijawab berdasarkan Al Quran dan Hadis. Dan mereka tidak dapat menyalahkan jawapan beliau. Hal itu menunjukkan sebahagian contoh bahwa Alloh memberikan “kehebatan, wibawa” dan “jaya”(kemenangan) pada ilmu manqul.

Dengan ilmu secara manqul-musnad-muttashil Alloh memberikan “guna” (manfaat). Dengan cara manqul-musnad-muttashil seseorang akan mempunyai keimanan yang kuat, kukuh, tidak mudah terpengaruh dan imannya separti akar pohon yang kuat dan rimbun daunnya, serta berbuah tanpa mengenal musim. Iman dan takwanya selalu nampak di mana sahaja dan dalam keadaan apa sahaja, separti telah digambarkan oleh Alloh dalam Surah Ibrohim: 24-25
“Apakah kamu belum tahu (Muhammad) bagaimana Alloh membuat gambaran kalimat yang baik(kalimat yang menunjukkan haq, kalimat tauhid, Al Quran), kalimat yang baik separti pohon yang baik, akarnya kuat, daunnya rimbun dan berbuah setiap musim dengan izin Tuhannya. Demikian Alloh membuat gambaran untuk manusia supaya mereka ingat” Sebaliknya orang yang mengkaji Al Quran dan Hadis dengan tidak manqul, musnad, muttashil, tidak dapat memberi “Guna”(manfaat). Meskipun ilmunya banyak, peribadinya tidak dapat mengamalkan, Alloh menggambarkan dalam Surah Ibrahim:26
“Dan gambaran kalimat yang jelek/buruk (kalimat yang batil, kalimat yang sesat) sebagaimana pohon yang tidak kuat, mudah tumbang dari atas bumi”

Kesimpulan

• Kita wajib bersyukur kepada Alloh yang telah memberi hidayah kepada kita semua, sehingga kita redha menerima Agama Islam secara murni, sistem pengambilan ilmu secara murni (manqul-musnad-muttashil) dan pengamalannya juga murni (tidak dicampuri dengan bid’ah Hassanah/dolala (kulu bid’ahtidolala), syirik, khurafat, tahyul, jin-jinan dan lainnya).

• Menurut aslinya mengkaji Al Quran dan Hadis itu harus dengan manqul-musnad-muttashil yaitu cara yang telah dipraktikkan oleh Rosululloh SAW, sahabat, para tabi’in dan ulama-ulama sholihin.

• Mengkaji Al Quran dan Hadis dengan cara manqul-musnad-muttashil hukumnya “WAJIB”, sedangkan dengan cara tanpa manqul/ro’yi dilarang dalam agama, hukumnya “HARAM”.

• Alloh memberikan ilmu manqul-musnad-muttashil adalah ilmu yang tinggi nilainya antaranya:

a) Mengesahkan pengamalan

b) Menjaga kemurnian keaslian Agama Islam

c) Mudah difahami dalam waktu yang relatif singkat

d) Memberikan “HEBAT, WIBAWA,GUNA(manfaat),JAYA” (kemenangan / kejayaan) “MULIA”(dunia akhirat)

e) Mengagungkan terhadap ilmu secara manqul adalah menganggap ilmu secara manqul merupakan ilmu yang paling tinggi (ilmu sejagad). Maka kita harus menganggap ilmu manqul adalah ilmu yang utama, tidak bisa dianggap remeh. Sesuai dengan sabda Rosululloh SAW yang bermaksud: “Barang siapa yang membaca dan memahamai Al Quran (secara Manqul) kemudian ia berpendapat bahwa ada seseorang yang diberi lebih utama daripada yang telah diberikan kepadanya. berarti dia mengagungkan apa-apa yang Allah meremehkan dan meremehkan apa-apa yang Alloh mengagungkan” (Riwayat Al Tabrani dari Tafsir Ibnu Katsir)

f) Mengingat utamanya ilmu secara manqul-musnad-muttashil maka ilmu tersebut harus kita jaga, pertahankan kemurniannya serta kita sebar-luaskan secara terus-menerus, sambung-bersambung, turun-temurun illa yaumil qiyamah.

Semoga Alloh Memberikan Kita HidayahNya Sampai Tutup Usia Kita dalam Naungan Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Kebarokahan Alloh di Setiap Detik Perjalanan Hidup Kita… Amiiin…